Membuka Cakrawala Pengetahuan

Membuka Cakrawala Pengetahuan

Rabu, 04 Mei 2011

KRITISISME

 Oleh:  Fikri Arief Husaen*
(09410157)
PAI-D

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani kuno hingga abad XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat bermunculan. Setiap aliran filsafat memiliki kekhasan masing-masing sesuai dengan metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance (kelahiran kembali). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada Perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Demikian Immanuel Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.

BAB II
PEMBAHASA

Kritisisme Jerman-Immanuel Kant(1724-1804)
Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman kelahiran Konigsberg, 22 April 1724 – 12 februari 1804. Ia dikenal sebagai tokoh kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil memberikan sebuah pengetahuan yang pasti berlaku umum dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut kant, pengetaahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam subyek. Memang mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru. Sedangkan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk kedalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik-apesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, sangat bergantung pada ruang dan waktu. Kebenaran disini sangat bersifat subyektif[1]
Dengan melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan tersebut, serta kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya dalam suatu bentuk putusan yang bersifat umum-universal, dan pasti di dalamnya, “akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak”.[2]
Bagaimana cara untuk mendapatkan putusan sintetik-apriori?
Dalam hal ini kant menunjukan pada 3 bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a.      Bidang indrawi
Peranan subyek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu ruang dan waktu yag dapat diterapkan pada pegalaman. Hasil yang diterapkan pada ruang dan waktu merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan yang diperoleh indrawi ini selalu berubah-ubah, tergantung pada subyek yang mengalami dan situasi yang melingkupinya.
b.      Bidang Akal
Apa yang telah diperoleh melalui bidang indrawi tersebut, untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal. Haruslah dituangkan ke bidang akal. Disini terkandung 4 bentuk kategori:
  1. Kategori kuantitas, terdiri atas; singulir(kesatuan), partikulir(sebagian), dan universal(umum).
  2. Kategori kualitas, terdiri atas; realitas(kenyataan), negasi(pengingkaran), dan limitasi(batas-batas)
  3. Kategori relasi, terdiri atas; categories(tidak bersyarat), hypothetis(sebab dan akibat), disjunctif(saling meniadakan)
  4. Kategori modalitas, terdiri atas; mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebetulan.[3]
c.       Bidang Rasio
Pengetahuan yang telah diperoleh akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan sintetik-apriori, setelah dikaitkan 3 macam ide, yaitu; Allah(ide teologis), jiwa(ide psikologis), dan dunia (ide kosmologis).
Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menetapkan kesatuan pengetahuan. Selain itu Immanual kant juga mengangkat aliran Aufk Larung ke puncak perkembangannya sekaligus mengantar keruntuhannya. Pendapatnya adalah;
  1. Ajarannya tentang pengetahuan
 ialah pendapat-pendapat yang sintesis dengan suatu pertanyaan; bagaimana mungkin orang dapat menetapkan pendapat yang apriori (terlepas dari pengalaman) tentang suatu objek dengan mempergunakan logika?
  1. Ajarannya tentang kesusilaan
 adalah bertentangan dengan ajaran etika/ kesusilaan dari aufk larung (rasa senang/ kenikmatan dan faedah). Maka ajaran etikanya berprinsip bahwa segala sesuatu hanya tergantung pada kehendak/ suasana yang menjadi dasar perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan baik dari sudut susila adalah berdasarkan keinsafan kewajiban dengan pengertian bahwa setiap perbuatan kita bisa menjadi hukum umum yang berlaku. Asas pokok kesusilaan adalah imperatif kategoris, artinya suatu imperatif/ perintah dari dalam diri kita yang memerintahkan kepada kita tanpa memandang sebab dan akibatnya, cara berbuatnya, dsb. Berbuat baik adalah berbuat dengan berpangkal pada hukum kesusilaan yang dibuat oleh diri kita sendiri seara otonom karena menghormati hukum kesusilaan.
  1. Ajarannya tentang kesenian
Rasa estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat yang bercampur dengan perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi perasaan luhur yang berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa luhur/ mulia.  
Adapun karya Kant yang terpenting adalah “Kritik der Reinen Vernunft” 1781. Dalam bukunya ini ia membatasi pengetahuan manusia, atau dengan kata lain apa yang bisa diketahui manusia. Ia menyatakan ini dengan dengan memberikan tiga pertanyaan:
1.      Apakah yang bisa diketahui?
2.      Apakah yang harus kulakukan?
3.      Apakah yang bisa kuharapkan?
Pertanyaan ini dijawab sebagai berikut:
1.      Apa-apa yang bisa diketahui manusia hanyalah yang dipersepsi dengan panca indra. Lain daripada itu merupakan “ilusi” saja, hanyalah ide.
2.      Semua yang harus dilakukan manusia harus bisa diangkat menjadi sebuah peraturan umum. Hal ini disebut dengan istilah “imperatif kategoris”, contoh: orang sebaiknya jangan mencuri, sebab apabila hal ini diangkat menjadi peraturan umum, maka apabila semua orang mencuri, masyarakat tidak akan jalan.
3.      Yang bisa diharapkan manusia ditentukan oleh akal budinya. Inilah yang memutuskan pengharapan manusia.
Ketiga pertanyaan diatasini bisa digabung dan ditambahkan menjadi pertanyaan keempat; apakah iti manusia?
Kant sebenarnya hanya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya. Immanuel Kant sendiri mulanya sangat beregang teguh dengan rasionalisme, secara dia adalah seorang Jerman, namun dia tersadarkan akan empirisme dari bukunya David Hume (filsuf Inggris). Dan sejak itulah Immanuel Kant merasa rasionalisme dan empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat melengkapi satu sama lain.
Kritisisme Rasionalis Jerman yang diajarkan Immanuel Kant adalah metodeloginya yang dikenal dengan metode induksi, dari partkular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Dengan kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri", namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah, ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. seperti ada ungkapan "The Think in itself". Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak- Plato)
Immanuel Kant memang cenderung mendapatkan "ilham" atau terinmspirasi dari Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya" dengan menggabungkan dengan Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato beranggapan Fenomena yang membentuk Nomena, Ide di atas segalanya, Ide yang membentuk sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan menciptakan Manusia.
Immanuel Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3 postulat "buatan". Sesuatu yang kita percaya, namun sulit dibuktikan.
1. Free Will, Kehendak yang bebas
2. Keabadian Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi Jiwa tak pernah Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya)
3. Tuhan, merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.[4]

BAB III
PENUTUP

Itulah sedikit penjabaran tentang Immanuel Kant, seorang pencetus Kritisisme Rasionalis Jerman. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Dengan kritisisme Imanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.
Immanuel Kant sendiri mulanya sangat beregang teguh dengan rasionalisme, secara dia adalah seorang jerman, namun dia tersadarkan akan empirisme. sejak itulah Immanuel Kant merasa rasionalisma dan empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat melengkapi satu sama lain.
Demikianlah sekilas tentang gagasan dan pemikiran tokoh filsafat Immanuel Kant, semoga dengan ini menambah wawasan dan pengetahuan kita dalam berfikir dan banyak mengandung manfaat bagi semua pembaca yang budiman.

DAFTAR PUSTAKA

Poejawijatna, Prof. Ir. 1996. Pembimbing kea rah alam  filsafat. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada
Mustansyir Rizal, Drs. 1987. Filsafat analitik -sejarah, perkembangan dan peranan para tokohnya. Jakarta; Rajawali
Salam Burhanuddin, Drs. H.  Pengantar filsafat. Jakarta; PT Bina Aksara



[1] Titus, Smith & Nolan, persoalan-persoalan filsafat, hlm. 90
[2] Hamersma, tokoh-tokoh filsafat barat modern, hlm. 29

[3] Ibid hlm. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar