Pembaharuan Islam atau tajdid, merupakan sebuah paradigma berpikir dalam khzanah keislaman yang akhir-akhir ini menjadi perdebatan di kalangan para intelektual Muslim. Paradigma ini sebetulnya telah muncul pada beberapa abad yang telah silam. Hanya saja dalam perkembangannya ia tidak difungsikan lagi sebagaimana semestinya. Ia yang seharusnya difungsikan sebagai upaya untuk merombak dan menafsirkan ajaran Islam yang tertuang di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah secara kontekstual, pada kenyataannya hanya difahami secara tekstual. Akibatnya muncullah stagnasi pemikiran Islam.
Kenyataan ini tampaknya telah berlangsung semenjak abad kesembilan yang lampau di mana umat Islam di dalam menyelesaikan berbagai persoalan keagamaan maupun yang lainnya hanya mengacu secara monoton pada normativitas wahyu semata. Mereka mengabaikan aspek historisitas kenabian yang lebih menekankan pada adanya pelibatan aspek sosio-kultural. Padahal dalam studi keagamaan sebagaimana yang dianulir Amin Abdullah, bahwa di antara keduanya tidak boleh terpisahkan. Sebab kalau sampai terjadi pemisahan antara normativitas wahyu dengan historisitas kenabian, maka yang akan terjadi adalah kesalahfahaman (misunderstanding) dalam menginterpretasikan nilai-nilai ajaran Islam yang telah tertuang dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang pada akhirnya bisa membawa pada kejumudan pemikiran.
Oleh karenanya pada makalah ini, berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap Tokoh/ pakar perubahan muslim yaitu Muhammad Iqbal dalam gagasan dan pemikirannya tentang faham Dinamisme Islam yang secara tegas mengkritik keras-keras munculnya stagnasi pemikiran Islam di kalangan umat Islam.
Biografi Muhammad Iqbal.
Muhammad Iqbal dilahirkan pada tanggal 3 Dzulqaidah 1294 H/ 9 November 1877 M di Sialkot, salah satu kota tertua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir. Ia berasal dari keluarga miskin, akan tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperolehnya ia mendapat pendidikan yang lebih bagus. Nenek moyangnya berasal dari keturunan golongan Brahmana yang berasal dari Kashmir yang telah menganut agama Islam kira-kira tiga abad sebelum Iqbal lahir. Ayahnya bernama Muhammad Nur, seorang sufi yang salih. Sejak menginjak usia anak-anak, agama sudah tertanam dalam jiwanya. Pendidikan agamanya selain dari orang tuanya, juga didapatkan dengan mengaji kepada Miss Hassan. Di rumah sang guru ini, ia selain belajar mengaji agama juga belajar menggubah sajak.
Pendidikan Iqbal bermula di Scottish Mission School di Sialkot. Di sekolah inilah ia mendapat bimbingan secara intensif dari Mir Hassan, seorang guru dan sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan menguasai bahasa Arab. Setelah lulus dari sekolah ini, Iqbal melanjutkan studinya lagi ke Lahore di government college yang diasuh oleh Sir Thomas Arnold. Pada tahun 1899 ia mendapat gelar MA dengan konsentrasi di bidang tasawuf, yang kemudian ia diangkat langsung menjadi dosen bahasa Arab di Oriental College, Lahore. Selepas dari Goverment College, ia atas saran Thomas Arnold meneruskan lagi ke Universitas Cambridge, London. Bidang yang ia tekuni yaitu filsafat moral. Ia mendapat bimbingan dari Jamest Ward dan seorang Neo-Hegellian yaitu JE. Mac Taggart.
Ketika di Eropa, ia juga belajar di Universitas Munich, Jerman. Ia mendapat gelar Doktor dengan desertasof Methaphysies In Persia” pada tanggal 4 November 1907 di bawah bimbingan F. Homen. Selepas studinya di Eropa, ia kembali lagi kuliah di School of Political Sciences. Setelah mendapat gelar Doktor ia kembali lagi ke Lahore dan bekerja sebagai pengacara di High Cort, Punjab Lahore. Namun, kemudian dilepaskannya karena ia aktif di dalam praktek hukum.
Semasa kuliah, ia sering mengunjungi dan berdialog dengan sejumlah filosof besar sezamannya. Dan selama di Eropa, ia dapat menyaring secara kritis pemikiran-pemikiran Barat yang membuatnya tidak hanyut ke dalam pusaran peradaban Barat. Berbekal dari sejumlah keahlian, ia memulai karirnya sebagai dosen dan pengacara di India. Ia juga aktif dalam masalah politik. Selebihnya, ia sering memberikan ceramah ke seluruh bagian negara India dan bahkan ke negara-negara Islam. Tentu saja di sini disertai pembacaan sajak yang sempat menggugah dan membangkitkan semangat tinggi atas cita-cita ajaran Islam. Selain itu ia juga sangat produktif dalam hal menulis terutama yang berbentuk lirik puisi.
Dari ilustrasi singkat di atas, dapat kita fahami bahwa Iqbal merupakan salah seorang pemikir Islam yang memiliki cakrawala pemikiran dan intelegensia yang luar biasa. Ia selain dikenal sebagai seorang filosof, politikus, dan spiritual, ternyata juga dikenal sebagai seorang penyair. Dan bakat yang terakhir inilah, yaitu sebagai seorang penyair, merupakan suatu bakat alam yang tidak banyak dimiliki oleh para pemikir Muslim yang lainnya.
Gagasan Pembaharuan Muhammad Iqbal.
Sebagaimana para pemikir Muslim lainnya, M. Iqbal merupakan salah seorang pemikir Muslim yang agresif yang secara tegas mengkritik keras-keras munculnya stagnasi pemikiran Islam di kalangan umat Islam. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya sikap umat Islam yang taqlid secara totalistik akibat adanya asumsi ditutupnya pintu ijtihad. Ijtihad yang seharusnya dijadikan sebagai paradigma berpikir di dalam mengembangkan cakrawala pemikiran, justru difahami sebagai suatu hal yang terlalu berani dan bebas dalam menggunakan rasionalitas akal manusia.
Menanggapi masalah ini, menurut M. Iqbal paling tidak ada tiga hal yang menyebabkan umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan dibanding dengan Barat. Pertama, adanya mistisme asketik yang terlalu berlebihan. Menurutnya, mistisisme asketik sangat memperhatikan kepada Tuhan dan hal-hal metafisis lainnya. Hal ini telah membawa umat Islam kurang mementingkan persoalan keduniawian (profanitas) dan kemasyarakatan dalam Islam. Kedua, hilangnya semangat induktif. Menurutnya, semangat Islam pada dasarnya menekankan pada aspek kehidupan yang konkrit yang senantiasa berubah dan berkembang. Oleh sebab itu selama umat Islam setia terhadap semangat mereka sendiri dan menempuh cara-cara induktif dan empirik dalam penelitian sebagaimana pada masa kejayaan Islam, mereka terus maju dalam melakukan penemuan demi penemuan di bidang ilmu pengetahuan. Ketiga, adanya otoritas perundang-undangan secara totalitas yang melumpuhkan perkembangan pribadi dan menyebabkan hukum Islam praktis tidak bisa bergerak sama sekali. Menurutnya, meskipun semua orang Sunni menerima ijtihad sebagai alat perubahan dan kemajuan, namun dalam prakteknya prinsip tersebut dipagari dengan banyaknya persyaratan yang terlalu berat. Sehingga sedikit sekali mereka yang dapat melakukannya. Dengan demikian, maka kekuatan ijtihad yang semula dimaksudkan untuk meliberalisasikan Islam tidak bisa bekerja, dan keluwesan Islam menjadi kekakuan.
Untuk mengatasi kondisi semacam ini, maka umat Islam harus mempunyai suatu filsafat hidup yang dapat membangkitkan mereka dari tidurnya dan membuka mata mereka bagi suatu pandangan yang lebih cerah dan lebih progresif. Dengan menganjurkan untuk mengambil sikap dinamis masyarakat Barat, Iqbal mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang menekankan pada perbuatan, bukannya pada gagasan. Statement inilah yang merupakan tema pertama dari karyanya yang berjudul “The Reconstruction of Relegious Thought in Islam” dan bahkan merupakan tema pokok dalam pemikiran M. Iqbal.
Masih menurut M. Iqbal, Islam pada hakekatnya menganjurkan dinamisme. Al-Qur’an senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam tentang alam adalah dinamis dan senantiasa berkembang. Islam menolak konsep lama yang menyatakan bahwa alam itu statis, dan mempertahankan konsep dinamisme serta menengahi adanya gerak dan perubahan dalam kehidupan sosial. Prinsip yang dipakai dalam gerak tersebut adalah ijtihad. Ijtihad mempunyai kedudukan penting dalam pembaharuan Islam.
Paham dinamisme yang dilontarkan Iqbal tertuang dalam syair-syairnya yang selalu mendorong manusia agar senantiasa bergerak dan tidak tinggal diam. Intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup adalah mencipta. Maka Iqbal menyerukan kepada umat Islam agar membangun dan mencipta dunia baru. Untuk mengembalikan semangat masyarakat sesuai dengan konsep Islam tersebut, Iqbal mengkritik hasil filsafat Plato dan Neo-Platonisme yang dianut dan berkembang di masyarakat Islam menjadi aliran tasawuf. Iqbal mengkritik faham Panteisme yang mempercayai adanya wahdah al-wujud. Faham ini menurutnya mendorong manusia menjauhkan diri dari persoalan-persoalan dan kesulitan-kesulitan hidup. Karena hidup ini dianggap suatu khayalan sehingga tidak ada yang harus diperjuangkan. Hal inilah yang menyebabkan kejumudan umat Islam.
Dalam rangka mengatasi kejumudan di atas, Iqbal menawarkan sebuah diagnosis dengan menyatakan bahwa intelektualisme harus dibenarkan sesuai dengan semangat al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah alam, sejarah dan diri. Di dalam diri terdapat tiga sumber lagi yaitu serapan inderawi, rasio, dan intuisi. Ketiga sumber terakhir ini sekaligus sebagai penimba dan pengolahan bahan baku pengetahuan agar seseorang menjadi tahu.
Sebagai seorang pemikir dan sufi, Iqbal mempunyai konsep manusia ideal yang menjadi puncak tujuan dari tasawufnya. Dengan menempuh jalan yang tidak biasa dikenal oleh sufi-sufi lainnya. Iqbal menyatakan bahwa puncak yang dituju oleh tasawufnya adalah insan al-kamil atau mardi’i khuda yaitu insan sebagai teman kerja Tuhan di muka bumi ini. Secara dialektis manusia mampu menyelesaikan ciptaan Tuhan yang belum selesai. Tuhanlah yang menciptakan bahan bakunya, sedangkan manusia yang mengelolanya menjadi barang-barang konsumtif.
Menurutnya, insan al-kamil adalah manusia yang telah mampu mengungkap dan membumikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya. Kendatipun demikian, kesadaran dirinya tidak luluh ke dalam kesadaran Tuhan, melainkan tetap mempunyai kesadaran yang utuh. Oleh karenanya ia mampu menjelaskan indikasi-indikasi kemampuannya secara analogis rasional. Dengan demikian corak tasawuf Iqbal adalah rasional transendental. Dan inilah yang membedakan dengan faham kaum panteisme yang menyatakan bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan yang mutlak. Dengan demikian akan menghapuskan kesatuan individualitasnya.
Dalam mengcounter paham panteisme di atas, Iqbal mengemukakan suatu pemikiran yang sering disebut dengan filsafat ego. Menurutnya, ego merupakan suatu realitas yang terang benderang. Secara langsung kita dapat melihat bahwa ego itu nyata dan berwujud. Ego dinilainya sebagai poros dari segala aktivitas dan perbuatan kita. Ego merupakan intisari wujud kepribadian kita yang hanya dapat dirasakan oleh naluri manusia. Pada hakekatnya ia sebagai suatu yang dapat memberikan tuntunan, bebas dan abadi. Ego berkembang menjadi suatu wujud pribadi yang kuat dan penuh dengan tujuan oleh cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang menggambarkan suasana lingkungan. Oleh karenanya, ego pun bergantung pada suatu hubungan yang diciptakannya dengan benda nyata, masyarakat, dan kenyataan-kenyataan.
Dalam masalah politik dan kenengaraan, banyak juga gagasan-gagasan yang disumbangkan Iqbal. Pemikiran Iqbal mengenai negara misalnya, ia mengisyaratkan bahwa negara Islam merupakan suatu masyarakat yang keanggotaannya berdasarkan keyakinan agama (the relegious faith) yang sama, dan bertujuan untuk merealisasikan suatu kebebasan (freedom), persamaan (egality), dan persaudaraan (brotherhood). Dengan konsep seperti ini, ia menolak gagasan nasionalisme wilayah yang dianggapnya bertentangan dengan persaudaraan secara universal sebagaimana yang ditegakkan Rasulullah SAW.
Dalama kesempatan lain, ia juga menolak setiap pemahaman apa saja yang berkaitan dengan bangsa dan negara sebagai dasar masyarakat Islam. Nasionalisme menurut Iqbal, merupakan suatu alat yang bisa digunakan untuk memecah belah dunia muslim yang akan berakibat pada adanya pemisahan sesama manusia, terjadinya perpecahan antar bangsa-bangsa dan adanya pemisahan agama dari politik. Maka dari itu ia dalam bukunya “Political Thought in Islam”, menegaskan bahwa cita-cita politik Islam adalah terbentuknya suatu bangsa yang lahir dari suatu internalisasi semua ras dan kebangsaan. Terpadunya ikatan batin masyarakat ini, muncul tidak dari kesatuan geografis dan etnis. Akan tetapi dari kesatuan cita-cita politik dan agamanya. Keanggotaan atau kewarganegaraannya didasarkan atas suatu pernyataan kesatuan pendapat yang hanya berakhir apabila kondisi ini tidak berlaku lagi.
Secara geografis, pemerintahan Islam adalah trans-nasional yang meliputi seluruh dunia[37]. Kendatipun demikian, setiap negara tidak perlu khawatir akan kehilangan kedaulatan negaranya masing-masing. Karena struktur negara Islam akan ditetapkan tidak dengan kekuatan fisik, akan tetapi dengan daya kekuatan spiritual dari suatu cita-cita bersama. Meskipun Iqbal telah mengabdikan sebagian besar pemikiran dan tulisannya untuk memahami tentang teori politik masyarakat Islam dan mengungkapkan semangat pan-Islam, namun ia menyadari bahwa zamannya masih mengharuskan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada.
Jadi, bagi Iqbal masyarakat Muslim harus menyusun suatu tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pertama, tiap negara muslim harus memperoleh kemerdekaannya, mengurusnya sendiri, dan membereskan rumah tangganya sendiri. Hal ini akan menjadikan masing-masing negara memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan. Kedua, berkumpul bersama dan membentuk suatu keluarga kuat yang terdiri atas republik-republik dengan ikatan yang mempersatukannya adalah spiritual Islam.
Dalam kasus umat Islam di India, Iqbal menyatakan bahwa kaum muslimin di negeri ini menghadapi bahaya kehilangan kebebasannya untuk berkembang. Sementara menurutnya, setiap muslim memerlukan komunitas Islam guna perkembangannya. Statement seperti ini sengaja dilontarkan Iqbal menyusul penolakannya terhadap pembentukan suatu negara India sekuler yang menggabungkan Hindu dan Muslim di mana Islam dapat dijadikan hanya sekedar etika pribadi yang terpisah dari lingkungan sosio-politik.
Berpijak dari sosio-historik negara India, Iqbal mengakui bahwa masyarakat Hindu dan Muslim telah memelihara konsistensi dan identitas bersama mereka dengan penuh kewaspadaan dan tidak memperlihatkan adanya kecenderungan dependensi ke dalam suatu keutuhan yang lebih besar. Lebih-lebih terhadap semua upaya untuk menemukan suatu prinsip keserasian intern telah gagal. Oleh karenanya, menurut Iqbal komunalisme tampaknya dibutuhkan untuk memelihara identitas Muslimin dan cara hidup mereka. Iqbal mengatakan, umat Islam India berhak untuk berkembang penuh dan bebas atas dasar kebudayaan dan tradisinya sendiri di tanah air Indianya sendiri. Mengingat umat Islam tidak bisa hidup bersama dengan orang Hindu di India sebagaimana disinggung di atas, maka umat Islam harus hidup dalam satu unit atau negara sendiri.
Berangkat dari pemikiran di atas, pada tahun 1930 di depan sidang tahunan All India Muslim League untuk pertama kalinya di hadapan umat Islam India, Iqbal mengajukan pendirian suatu negara Muslim yang berdiri sendiri. Dalam pidato sidang tahunan tersebut ia mengatakan: “Saya ingin melihat Punjab, Propinsi North West Frontier, Sind, dan balukistan, bergabung menjadi satu negara. Mempunyai pemerintahan sendiri di bawah kerajaan Inggris atau di luar kerajaan Inggris, pembentukan Negara Muslim Barat Laut India tampaknya menjadi tujuan akhir umat Islam, paling tidak bagi umat Islam India Barat Laut”.
Gagasan Iqbal tersebut tampaknya menjadi inspirasi bagi umat Islam India untuk mendirikan sebuah negara Islam. Di bawah pimpinan Muhammad Ali Jinnah, murid dan sahabat Iqbal – umat Islam India berhasil mendirikan sebuah negara Islam yang sekarang lebih dikenal dengan negara Pakistan. Negara tersebut secara resmi terpisah dari negara India mulai tahun 1947, sembilan tahun setelah Muhammad Iqbal meninggal dunia.
Penutup
Menyimak dari paparan di atas kita dapat mengambil ibarat bahwa ijtihad merupakan salah satu paradigma yang sangat krusial dalam khazanah peradaban Islam. Ia dapat di jadikan sebagai landasan dalam pembaharuan pemikiran Islam yang secara historik pernah mengalami masa yang sering kita sebut sebagai fase stagnasi atau kebekuan berpikir.
Gagasan serta pemikiran Muhammad Iqbal merupakan pembaruan agar umat islam berfikir secara dinamis dengan melihat jauh kedepan senantiasa menganjurkan pemakaian akal di dalam menginterpretasikan ayat ataupun tanda yang ada dalam alam semesta, sebagaimana adanya rotasi bumi, matahari, dan bulan. Orang-orang yang tidak peduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda tersebut akan buta terhadap masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar