Oleh: Fikri Arief Husaen
PENDAHULUAN
Pemahaman seseorang terhadap agama dibentuk dan ditentukan berdasarkan perkembangan psikologis dan bertahap sesuai dengan proses perkembangan. Selain itu juga pengalaman sangat berpengaruh terhadap pembentukan rasa agama, adanya daya serap faktor eksternal dan masukan materi-materi atau pemahaman dari luar yang akan diserap oleh otak kemudian menjadi pergolakan dalam pikiran yang diperdebatkan dengan keyakinan.
Namun pada kenyataannya perkembangan rasa agama dibentuk karena adanya Religious Conversion, dengan melihat pada cara memperoleh rasa agama, yaitu secara bertahap dan secara cepat. Bertahap berarti sesuai dengan proses perkembangan dan cepat berdasarkan; konversion, pengalaman yang tiba-tiba yang kemudian terjadinya perdebatan pikiran dan ledakan emosional yang mengubah pikiran dan keyakinan.
Oleh karenanya pada observasi mini reaseach ini dibahas mengenai perkembangan dalam memperoleh rasa agama, yang objeknya adalah diri pribadi dengan mengkaji kisah masa lalu yang pernah dialami yang berkaitan dengan rasa agama yang membuat perubahan dalam cara berpikir dan menjadi sebuah keyakinan yang melekat.
KAJIAN OBSERVASI
Observasi ini berkaitan dengan kasus yang pernah dialami dalam diri pribadi, kisah yang terjadi pada masa lampau ketika masih pada usia proses menuju dewasa. Kasus ini berkaitan dengan rasa agama yang timbul dan dirasakan oleh pribadi sendiri, yaitu adanya pergolakan dan konflik pemikiran mengenai aliran kepercayaan pada ajaran NU dan Muhammadiyah yang mempengaruhi diri ini dalam cara berpikir dan perspektif pandangan dalam mengamalkan ajaran islam.
PENGALAMAN INDIVIDU
Kasus:
Aku terlahir dikalangan masyarakat yang mayoritas menganut ajaran Muhammadiyah, salah satu pergerakan organisasi islam yang tertua di Indonesia yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912 M. Disana aku diajarkan dan dipahamkan tentang ajaran islam sesuai dengan prinsip-prinsip Muhammadiyah hingga aku berusia 12 tahun, tamat SD.
Namun setelah lulus dan aku saat itu melanjutkan sekolahku di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di salah satu Islamic Boarding School/ Pondok Pesantren Ma’arif di kota Yogyakarta. Ponpes Ma’arif adalah ponpes yang bercorak NU, pemahamannya orang-orang Nahdliyin yang pemahaman ajarannya mengaitkan pada wilayah tradisional klasik, berbeda dengan Muhammadiyah yang sudah modernis dalam cara pandangnya. NU ini didirikan oleh KH. Hasyim As’ari pada tahun 1926 M. merupakan kakek dari Alm. Gusdur. Dari situlah timbul konflik pergolakan pemikiran antara pemahaman yang diajarkan oleh 2 aliran pergerakan islam yang ada beberapa perbedaan yang memang kerapa kali diperdebatkan yang membuat aku bingung dalam memahami ajaran agama islam dalam pengamalannya yang berbeda antara NU dan Muhammadiyah. 3 tahun lamanya aku dijejali dengan pemahaman ajaran NU disana dengan berbagai pertanyaan yang timbul dalam benak pikiran, yang berusaha mencari kebenaran antara NU atau Muhammadiyah. Yang paling mencolok adalah adanya tahlilan yang diamalkan oleh kaum NU sebagai adat budaya sedangkan Muhammadiyah menganggap perbuatan tersebut adalah bid’ah yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal lainnya adalah mengenai qunut pada shalat subuh, NU mengamalkannya sedangkan Muhammadiyah tidak dan itu kerap kali diperdebatkan. Dengan adanya perbedaan tersebut membuat perasaan tidak tenang dan ragu serta besarnya rasa penasaran ingin lebih mengetahui dan mengkaji lebih dalam lagi. Dampak yang ditimbulkan yaitu adanya krisis dan konflik pergolakan jiwa, perdebatan pikiran dengan keyakinan.
Setelah lulus SMP, aku melanjutkan menuntut ilmu ke daerah jawa barat yakni di Ponpes Darussalam Ciamis asuhan KH. Irfan Hielmy. Merupakan Ponpes Modern yang memiliki jargon/ kata-kata yang menjadi visi dan misinya yaitu; “Muslim Moderat, Mukmin Demokrat, dan Muhsin Diplomat”. Ditempat ini lah aku diajarkan tentang islam moderat yang mengedepankan nilai-nilai toleransi. Diajarkan bahwasannya setiap ajaran baik yang diamalkan oleh Muhammadiyah ataupun NU semuanya berdasarkan dalil yang ada dan diyakini oleh masing-masing. Islam itu rahmatanlil’alamin, dan perbedaan adalah rahmat. Dari situlah aku mendapatkan pencerahan, yang membuat ku tidak picik dalam berpikir dan tidak fanatik terhadap suatu aliran agama. Islam adalah agama yang hanif (lurus) lagi toleran, demikianlah berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Saat itulah aku mulai menghargai adanya perbedaan pendapat, dengan catatan diluar wilayah syariat yang telah ada. Adanya perbedaan bukan hal yang harus diperdebatkan, karena perbedaan yang ada pada mereka berdasarkan dalil-dalil yang di yakininya. Oleh karenanya aku senantiasa berpikir positif karena mereka memiliki perspektif pandangan dan pemahaman yang berbeda yang pada substansinya sama saja, akan tetapi caranya yang berbeda.
Dari situlah aku mulai berpikir dewasa yang tidak melulu berprasangka negative dan tidak menjatuhkan dan menyalah kan pendapat orang lain yang berbeda dengan kita.
ANALISA
Tinjauan:
Setidaknya berdasarkan kasus yang terjadi yang dialami oleh diri pribadi ku ini, dalam psikologi agama adanya Religious Conversion yaitu dalam memperoleh rasa agama lebih kepada bertahap mengikuti proses perkembangan ; yang mengikuti psikologis dan kognitif, kemudian berdasarkan adanya berbagai pengalaman yang terjadi dan masukan wawasan sumber ilmu pengetahuan dari luar.
KESIMPULAN
Rasa agama dibentuk oleh proses perkembangan dan pengalaman. Semakin berkembang seseorang baik dari psikologisnya maupun kognitifnya maka akan berkembang pula pola pemikirannya dan mempengaruhi rasa agama berdasarkan keyakinan yang diyakininya.
Yogyakarta, 12 Januari 2012
Fikri Arief Husaen,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar